Oleh M APRIAN WIBOWO , Mahasiswa Fakultas Hukum UGM , Yogyakarta
"Meskipun dunia ini runtuh, hukum harus tetap ditegakan"
Itulah kutipan sebuah pameo sebagai gambaran betapa sakralnya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi rakyat. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini? Korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela di semua lini dari hulu hingga ke hilir. Sampai-sampai praktik korupsi menjadi rahasia umum di negeri ini dan menjadi masalah yang tidak akan ada habisnya. Kasus gayus tambunan dapat menjadi gambaran kondisi hukum di Indonesia saat ini. Lalu kapan Negara ini dapat mencapai tujuannya sesuai amanah UUDNRI 1945 ? Haruskah Negara ini dibubarkan? Tidak, kami masih punya harapan. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memberikan sejuta harapan bagi rakyat yang merindukan pemerintahan yang bersih sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Lebih dari 400 hari puncak kursi pimpinan KPK kosong setelah Antasari Azhar sebagai ketua KPK yang lama menjadi terpidana kasus pembunuhan. Kini kursi tersebut telah di Isi oleh Busro Muqqodas. DPR RI telah memilih Busro Muqqodas sebagai pimpinanKPK yang baru untuk melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. Welcome to the jungle menjadi kata sambutan yang tepat untuk pemimpin KPK yang baru saat ini.
Pasca reformasi tahun 1998 mulai bermunculan lembaga-lembaga independen yang dibentuk untuk menunjang fungsi legislative, yudikatif maupun eksekutif. Munculnya lembaga independen seperti KPK merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi atau instrument penegakan hukum yang ada. Untuk membentuk lembaga seperti KPK membutuhkan dana yang sangat besar. Hal tersebut memakan waktu yang lama pula. Dari proses pengkajian sampai pembentukan infrastrukturnya. Tetapi hal tersebut merupakan jalan tengah kita untuk menuju Indonesia yang bebas dari Korupsi. Kita tidak dapat menunggu malaikat turun tangan atau tetap mengandalkan instrument penegakan hukum klasik atau menjalankan wacana radikal yaitu mengganti semua aparat penegak hukum yang lama oleh personel yang baru.
Lahirnya KPK sebagai state auxiliary institution merupakan dorongan untuk membentuk suatu lembaga yang independen baik fungsi maupun tugasnya akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap istitusi hukum yang ada. Jika ada beberapa orang yang bertanya mengapa KPK lahir? perintah UU atau amanah rakyat? jawaban yang paling tepat adalah karena lembaga hukum yang ada (Kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu melaksanakan tugasnya khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK merupakan terapi kejiwaan bagi rakyat yang merindukan keadilan agar optimis menghadapi masa depan di negara ini. Segala gebrakan yang dilakukan KPK akan memberikan shock terapi bagi para koruptor. KPK juga menjelma menjadi hantu bagi para penjual kepentingan di tingkat elit. Mereka akan takut disadap, dibuntuti dan juga dibongkar kasusnya. Meskipun kita tahu bahwa sumber daya manusia yang ada di KPK berasal dari Kejaksaan, Kepolisian, dan Badan Pemeriksa Keuangan, tetapi dapat kita yakini sistem yang ada di KPK dapat menjamin penegakan hukum yang baik.
Akhirnya, harapan tetaplah harapan. Berbgagai kasus tetap saja tidak optimal diselesaikan oleh KPK, kasus skandal century merupakan contoh konkret melemahnya kinerja KPK saat ini. meskipun DPR RI telah merekomendasikan KPK untuk mengusut kasus tersebut tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut yang jelas kedepannya. Lalu apakah akan muncul gebrakan baru KPK dengan pemimpin barunya? Kita tunggu saja.
Lebih dari 400 hari puncak kursi pimpinan KPK kosong setelah Antasari Azhar sebagai ketua KPK yang lama menjadi terpidana kasus pembunuhan. Kini kursi tersebut telah di Isi oleh Busro Muqqodas. DPR RI telah memilih Busro Muqqodas sebagai pimpinanKPK yang baru untuk melanjutkan kepemimpinan sebelumnya. Welcome to the jungle menjadi kata sambutan yang tepat untuk pemimpin KPK yang baru saat ini.
Pasca reformasi tahun 1998 mulai bermunculan lembaga-lembaga independen yang dibentuk untuk menunjang fungsi legislative, yudikatif maupun eksekutif. Munculnya lembaga independen seperti KPK merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi atau instrument penegakan hukum yang ada. Untuk membentuk lembaga seperti KPK membutuhkan dana yang sangat besar. Hal tersebut memakan waktu yang lama pula. Dari proses pengkajian sampai pembentukan infrastrukturnya. Tetapi hal tersebut merupakan jalan tengah kita untuk menuju Indonesia yang bebas dari Korupsi. Kita tidak dapat menunggu malaikat turun tangan atau tetap mengandalkan instrument penegakan hukum klasik atau menjalankan wacana radikal yaitu mengganti semua aparat penegak hukum yang lama oleh personel yang baru.
Lahirnya KPK sebagai state auxiliary institution merupakan dorongan untuk membentuk suatu lembaga yang independen baik fungsi maupun tugasnya akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap istitusi hukum yang ada. Jika ada beberapa orang yang bertanya mengapa KPK lahir? perintah UU atau amanah rakyat? jawaban yang paling tepat adalah karena lembaga hukum yang ada (Kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu melaksanakan tugasnya khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK merupakan terapi kejiwaan bagi rakyat yang merindukan keadilan agar optimis menghadapi masa depan di negara ini. Segala gebrakan yang dilakukan KPK akan memberikan shock terapi bagi para koruptor. KPK juga menjelma menjadi hantu bagi para penjual kepentingan di tingkat elit. Mereka akan takut disadap, dibuntuti dan juga dibongkar kasusnya. Meskipun kita tahu bahwa sumber daya manusia yang ada di KPK berasal dari Kejaksaan, Kepolisian, dan Badan Pemeriksa Keuangan, tetapi dapat kita yakini sistem yang ada di KPK dapat menjamin penegakan hukum yang baik.
Akhirnya, harapan tetaplah harapan. Berbgagai kasus tetap saja tidak optimal diselesaikan oleh KPK, kasus skandal century merupakan contoh konkret melemahnya kinerja KPK saat ini. meskipun DPR RI telah merekomendasikan KPK untuk mengusut kasus tersebut tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut yang jelas kedepannya. Lalu apakah akan muncul gebrakan baru KPK dengan pemimpin barunya? Kita tunggu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar